Tuna budaya, satu istilah yang disematkan pemerintah pada penghuni rimba. Label yang dilekatkan pada mereka berintensi primitif dan terbelakang. Hal ini mendorong Departemen Sosial merancang program pemukiman kembali (resettlement) yang menyediakan rumah berdinding dan beratap seng.
Salah satu penghuni rimba yang ada di Halmahera, Maluku Utara adalah Kelompok O’hongana Manyawa. Orang luar juga kerap menyebut mereka orang Togutil dan orang Tobelo Dalam. Mereka hidup di wilayah-wilayah hutan Halmahera yang kaya pangan seperti sagu dan hewan buruan. Mereka hidup nomaden untuk meramu, berburu, membangun rumah dengan atap rumbia tanpa dinding di sekitar aliran sungai, di Lembah Subaim, Halmahera Timur.
“Ngohi O’hongana Manyawa, orang yang hidup di hutan,” ujar Bodik (80) menegaskan identitas para pencari suaka.
Pada 1980-an program resettlement mulai dijalankan, bersamaan dengan program transmigrasi oleh pemerintah pusat. Lembah Subaim yang dahulunya menjadi dusun sagu bagi O’hongana Manyawa, drastis berubah menjadi pemukiman dan lahan pertanian sawah bagi warga transmigrasi. Mulanya ada resistensi, tapi perlahan mereka kalah dan tersingkir.
Kini, sebagian besar terpaksa tinggal di rumah-rumah buatan pemerintah di pinggiran kawasan transmigrasi. Mereka mulai hidup “modern” sebagaimana keinginan pemerintah, yang lainnya mencoba bertahan dengan kebudayaan asal.
“Nanga ngoka manyawa, fongana, yang nyojaga mia doku, sebab yanga dimono.”
Kami menjaga hutan dan gunung-gunung, karena kami anggap sebagai orang tua kami.
Adlun Fiqri lahir dan besar di Halmahera. Saat mahasiswa, ia bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mantra. Tertarik pada fotografi dokumenter dan memiliki minat dalam isu lingkungan dan budaya. Terlibat sebagai fasilitator komunitas dengan sejumlah organisasi lingkungan hidup. Saat ini aktif bergiat di Fakawele.project, Halmahera Tengah, terkait proyek pendokumentasian kebudayaan kampung yang bergerak dari kampung ke kampung.