“Dago melawan tak bisa dikalahkan! Dago melawan tak bisa dikalahkan!” Suara-suara itu meresap dalam udara kala puluhan warga Dago Elos, Kota Bandung, Jawa Barat, berkumpul dalam semangat melangsungkan konsolidasi, Selasa (8/8) malam.
Sentimen cemas merayap di kalangan warga Dago Elos ketika ancaman gusuran muncul. Meski di tengah kerumitan konflik, justru terbangun solidaritas yang luar biasa. Berbagai individu dari berbagai lapisan masyarakat dan usia, bersatu merapatkan barisan, demi semangat melawan ketidakadilan dan membentuk aliansi kolektif yang menjulang suara masyarakat yang terpinggirkan, tak terdengar oleh pemerintah.
Opet (24), salah satu kawan solidaritas dan juga korban sengketa lahan Anyer Dalam, menyuarakan arti perjuangan ini, “Saya ada di sini karena sadar, semua dari kita sebenarnya terancam. Kehilangan rumah, kehilangan ruang hidup. Kemarin warga Taman Sari dan Anyer Dalam, sekarang Dago Elos.”
Solidaritas yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada satu wilayah, tetapi juga menjelma dalam beragam bentuk aktivitas. Selain mengawal konflik Dago Elos, inisiatif membuat pasar gratis di bawah Jembatan Pasupati juga mereka kerjakan. Semangat gotong royong, berpadu dengan aksi nyata: masyarakat mendapat kebutuhan pokoknya secara gratis. Aksi yang mereka kerjakan, merupakan bentuk protes terhadap ketimpangan sosial dan budaya konsumerisme. Para aktivis gerakan solidaritas ini memaknai inisiatif ini sebagai langkah konkret untuk menggugah kesadaran akan ketidakadilan di sekitar kita.
Nur Ainun S merupakan fotografer muda yang menyukai fotografi sejak duduk di bangku sekolah menengah, dan mulai mendalami fotografi jurnalistik sejak bergabung bersama LPM Suaka dan Komunitas ‘Photo’s Speak’. Ia sangat tertarik dengan tema liputan masyarakat, adat, dan budaya.