Cerita Dari Timur

Cerita dari Timur merupakan workshop daring dan luring (hybrid) yang diselenggarakan pada bulan Juli hingga September 2022 di Jayapura, Ternate, dan Palu. Dalam program workshop ini, peserta diajak untuk memahami dan menggunakan fotografi sebagai medium untuk bercerita. Keahlian yang dilatih dalam kegiatan ini termasuk membuat foto cerita, melakukan riset, menulis deskripsi karya, dan public speaking bersama para mentor PannaFoto Institute, mentor tamu dan narasumber. Kegiatan ini diselenggarakan dan didukung oleh Photo-Demos, PannaFoto Institute, dan Kurawal Foundation.

Hujan Batu Hujan Sorgum

By Yoseph Boli Bataona

Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang. Peribahasa ini seperti magnet yang menarik orang untuk mengadu nasib di tanah orang.

“Hujan Batu, Hujan Sorgum” karya Yose Batona berkisah tentang sorgum di Desa Likotuden, Nusa Tenggara Timur. Desa yang dapat ditempuh satu jam dari Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur ini memiliki lahan semi kering dengan cuaca kemarau yang panjang. Akibatnya, lahan menjadi kering, petani sulit menggarap lahan, ekonomi pun paceklik. Lahan tandus itu membuat pemuda-pemudi terpaksa beranjak dari desa untuk mengais rezeki ke luar daerah.

Demikian pula terjadi Tak hanya kekeringan, problem kemiskinan juga mendera NTT. Seturut data BPS pada Maret 2022, NTT menempati posisi ketiga sebagai provinsi termiskin, dilansir dari Detik.com, 17/07/22.

Tak ayal, pepatah “Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang” terasa benar adanya di Desa Likotuden. Namun di tengah persoalan itu, sorgum datang sebagai solusi. Tak seperti padi yang memerlukan banyak air, sorgum relatif mampu tumbuh subur di lahan kering. Sejak 2014 para warga di Desa Likotuden kembali menanam sogum. Desa ini berjarak 1 jam dari kota Larantuka, Kab.Flores Timur. Sebelum ada sorgum, para warga Likotuden nyaris melupakan ladang, karena padi dan jagung yang ditanam selalu gagal panen.

sorgum merupakan pangan lokal warisan leluhur. Namun, karena regulasi pemerintah yang lebih memprioritaskan padi, sorgum pun terasing di tanah sendiri. Padahal tidak semua daerah di nusantara cocok ditanami padi.

Sebelum ada sorgum, para warga Likotuden nyaris melupakan ladang, karena padi dan jagung yang ditanam selalu gagal panen. Akibatnya, ada pula warga yang pergi merantau karena kendala ini.

Kini, berkat sorgum para warga pun dapat berdaya di kampung sendiri. Sorgum telah membuka banyak lapangan kerja baru. Selain memiliki dampak ekonomi, sorgum juga memiliki segudang manfaat bagi kesehatan. Salah satu warga yang telah membuktikannya adalah Jefri Curman. Ia lekas kembali dari rantau di Malaysia dan pulang ke kampung untuk menjadi petani sorgum.

“Sorgum lebih memberi hasil dibanding kerja di tanah rantau dulu” ujar Jefri. Selain bertani sorgum, ia juga bekerja di sebuah LSM milik Keuskupan Larantuka, yang berfokus pada pertanian sorgum.

Kini, berkat sorgum para warga pun dapat berdaya di kampung sendiri. Sorgum telah membuka banyak lapangan kerja baru. Dengan demikian, hujan batu di tanah sendiri dapat berganti menjadi hujan sorgum yang melimpah dari tahun ke tahun.

Perempuan Tangguh Pemecah Batu

By Rajuan Jumat

Kita pe laki lumpuh, sudah lama meninggal. Kita kase hidup anak-anak hanya dari usaha bakumpul deng batoki batu. Biar kita pe umur so 70 tahun, pekerjaan ini tara akang pernah kita kase tinggal,” ujar Ade Muhammad, perempuan kelahiran Ternate 1952.

(Suami saya lumpuh, sudah lama meninggal. Saya meghidupi anak-anak hanya dari mengepul batu, memecahkannya lalu dijual dalam bentuk kerikil. Meskipun usia saya sudah 70 tahun, pekerjaan ini tidak akan pernah saya tinggalkan).

Ibu Ade adalah satu dari beberapa perempuan pengepul dan pemecah batu di Kelurahan Togafo, Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara. Sebagian Teman-temannya sesama pengepul, sudah meninggalkan pekerjaan tersebut dan memilih profesi yang lebih menjanjikan. Namun, Ibu Ade—begitu ia kerap disapa—tetap bertahan di tengah gempuran mesin pemecah batu yang lebih mudah, cepat, dan modern.

Memiliki enam orang anak yang semuanya perempuan, Ibu Ade lebih banyak menghabiskan kesehariannya di pantai. Hanya berbekal ember dan palu, ia melakukan pekerjaan yang telah ia geluti selama 20 tahun. Butuh waktu satu hingga dua bulan untuk menghasilkan 1 kubik kerikil yang dihargai senilai 400 ribu rupiah. Ia seakan sudah berdamai dengan pekerjaannya itu.

Memiliki enam orang anak yang semuanya perempuan, Ibu Ade lebih banyak menghabiskan kesehariannya di pantai. Hanya berbekal ember dan palu, ia melakukan pekerjaan yang telah ia geluti selama 20 tahun. Butuh waktu satu hingga dua bulan untuk menghasilkan 1 kubik kerikil yang dihargai senilai 400 ribu rupiah. Ia seakan sudah berdamai dengan pekerjaannya itu.

Kini, di tengah maraknya mesin pemecah batu di Kota Ternate, pekerjaan Ibu Ade diambang kecemasan. Yang semula banyak pembeli, kini sudah jarang. Dahulu, ia bisa menjual kerikil seharga 600-800 ribu per kubik, sekarang sudah tidak bisa. Ia khawatir tidak ada yang mau beli.

Kehadiran alat pemecah batu yang lebih mudah dan cepat membuat pengepul dan pemecah batu seperti Ibu Ade serta para perempuan pengepul dan pemecah batu ini kian kesulitan. Sudah hampir tujuh bulan ini Ibu Ade tak kunjung didatangi pembeli. Meskipun begitu, ia tetap semangat dan terus mengepul batu.

Permadani Hijau yang Tergusur

By Fadli Usman

Puluhan tahun yang lalu, kawasan seluas kurang lebih tujuh hektare di Kelurahan Fitu, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara, dipenuhi tanaman merambat yang tumbuh liar. Sejak 1970, masyarakat atau petani setempat memanfaatkan lahan tersebut sebagai sumber penghidupan dengan mengelola lahan liar tersebut menjadi lahan untuk menanam kangkung dan pandan hingga saat ini. Masyarakat Maluku Utara menyebut kangkung dengan kangkong, sedangkan pandan disebut pondak.

Aba Talib (70) dan Nurnaningsi (60) adalah warga Kelurahan Fitu. Mereka berprofesi sebagai petani sejak lahan liar tersebut dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi lahan kangkung. Seperti aktivitas para petani lainnya di Kelurahan Fitu, setiap pagi mereka menuju kebun lahan gambut berlumpur yang dikelilingi kawasan permukiman. Bermodalkan pisau, karung, dan saloi (ransel), sebagian dari mereka memotong kangkung, memupuk, dan mengikatnya. Ada pula yang membersihkan rerumputan. Pandan pun dikerjakan dengan cara yang sama.

Selama puluhan tahun, mereka berdua tak pernah alpa menjalani aktivitas bertani. Aba Talib, Nurnaningsi, dan petani-petani kangkung lainnya, mengelola lahan tersebut sambil memupuk mimpi, kelak ‘permadani hijau’ yang mereka kelola dapat terus menyambung hidup mereka, anak cucu hingga masa yang akan datang.

“Lahan ini sudah dari dulu kami kasih bersih, lalu tanam kangkung dan pandan. Dulu di sini masih berhutan, pohon-pohon besar kami yang bersihkan samua. Anak-anak kami sekolah sampai menjadi sarjana berkat lahan yang kami kelola ini,” ucap Nurnaningsi.

Mereka terus bertani sampai satu hari lahan hijau sebagai sumber penghidupan mereka, kini diambang penggusuran. Pasalnya, mereka tidak mengetahui bahwa lahan tersebut telah dijual dan berpindah tangan tanpa kepemilikan yang jelas.

Tak pelak, penggusuran mulai menghantui kehidupan para petani Fitu. secara perlahan, sejak Febuari 2022, lahan kangkong dan pandan mulai diratakan dengan tanah. Semakin membentang timbunan tanah, semakin menjerit pula para petani Fitu menyaksikan tanaman kangkung dan pandan yang masih tersisa. Ada yang menatap dengan pasrah, ada yang menangis memikirkan mimpi yang perlahan hilang, ada pula yang menangis saat mengetahui beberapa rumah mereka juga akan digusur.

Kini lahan tersebut secara perlahan mulai rata oleh tanah dan bebatuan besar. Nasib Petani Fitu, Kota Ternate, Maluku Utara, secara perlahan mulai kehilangan mata pencaharian mereka.

Kalau Cinta Jang Piara

By Akhmad David Kurnia Putra

“Assalamualaikuum Yakoop,” suara burung kakatua yang parau terdengar dari rumah-rumah para pencinta burung.

Kemampuan burung kakatua yang dapat menirukan suara bahkan kata dan kalimat manusia, membuat sebagian orang beranggapan bahwa kakatua adalah burung yang sangat pintar. Lantaran kepintarannya itulah, burung pemakan biji dan nektar bunga ini menjadi incaran para penggemar burung. Mereka dipelihara, dimasukkan di dalam kandang—dengan alih-alih cinta—tak jarang mereka ditangkap dan dijual.

Mencintai mereka dalam sangkar tentu tidak dibenarkan. Sama halnya seperti manusia, hewan pun memiliki apa yang dinamakan “Prinsip Kebebasan” dalam kesejahteraan hewan. Yaitu, bebas dari rasa lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari rasa takut atau stress, dan bebas berekspresi secara alamiah seperti kebiasaan mereka di habitatnya.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang beragam baik flora dan fauna, serta menjadi surga bagi satwa-satwa endemik. Salah satunya, burung kakatua. Indonesia memiliki empat jenis burung kakatua endemik, satu di antaranya adalah kakatua putih Cacatua alba yang asli dari Maluku Utara. Saat ini, kakatua putih beserta seluruh anggota burung paruh bengkok telah dilindungi oleh undang-undang melalui Permen LHK Nomor P.106.

Meski telah dilindungi dengan payung hukum yang jelas, namun nyatanya kegiatan perburuan, penangkapan, dan perdagangan burung paruh bengkok di Maluku Utara masih marak. Pada 2018, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku telah melakukan penyelamatan burung paruh bengkok sebanyak 1,135 ekor, termasuk kakatua putih dan kasturi ternate Lorius garrulus yang merupakan burung endemik Maluku Utara (Setiyani & Ahmadi, 2020). Lima tahun sebelumnya, dijumpai sebanyak 13,6% rumah tangga di dua kota di Maluku Utara memelihara burung-burung paruh bengkok di rumahnya (Rosyadi, et al., 2015).

Saat ini populasi kakatua putih di habitatnya berkurang sehingga satwa ini masuk dalam daftar merah badan konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status “terancam” atau EN-Endangered.

Photo story ini mengangkat kisah Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera, Maluku Utara yang mendirikan Suaka Paruh Bengkok bersama para pihak melakukan upaya penyelamatan kakatua putih dan burung paruh bengkok lainnya. Suaka ini memiliki staf dan sosok-sosok yang bekerja siang-malam guna merawat kakatua putih dan kerabatnya sampai bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Burung-burung paruh bengkok tersebut didapat dari kegiatan pengamanan Polisi Kehutanan maupun penyerahan sukarela oleh masyarakat yang telah sadar bahwa burung bukan untuk dipelihara. Kegiatan utama yang dilakukan oleh Suaka Paruh Bengkok adalah konservasi, edukasi, dan rekreasi. Tujuan mereka hanya satu, menjaga dan merawat satwa endemik ini agar tidak diburu dan dapat kembali terbang bebas ke habitatnya.

Merumahkan Penghuni Rimba

By Adlun Fiqri Pramadhani

Tuna budaya, satu istilah yang disematkan pemerintah pada penghuni rimba. Label yang dilekatkan pada mereka berintensi primitif dan terbelakang. Hal ini mendorong Departemen Sosial merancang program pemukiman kembali (resettlement) yang menyediakan rumah berdinding dan beratap seng.

Salah satu penghuni rimba yang ada di Halmahera, Maluku Utara adalah Kelompok O’hongana Manyawa. Orang luar juga kerap menyebut mereka orang Togutil dan orang Tobelo Dalam. Mereka hidup di wilayah-wilayah hutan Halmahera yang kaya pangan seperti sagu dan hewan buruan. Mereka hidup nomaden untuk meramu, berburu, membangun rumah dengan atap rumbia tanpa dinding di sekitar aliran sungai, di Lembah Subaim, Halmahera Timur.

“Ngohi O’hongana Manyawa, orang yang hidup di hutan,” ujar Bodik (80) menegaskan identitas para pencari suaka.

Pada 1980-an program resettlement mulai dijalankan, bersamaan dengan program transmigrasi oleh pemerintah pusat. Lembah Subaim yang dahulunya menjadi dusun sagu bagi O’hongana Manyawa, drastis berubah menjadi pemukiman dan lahan pertanian sawah bagi warga transmigrasi. Mulanya ada resistensi, tapi perlahan mereka kalah dan tersingkir.

Kini, sebagian besar terpaksa tinggal di rumah-rumah buatan pemerintah di pinggiran kawasan transmigrasi. Mereka mulai hidup “modern” sebagaimana keinginan pemerintah, yang lainnya mencoba bertahan dengan kebudayaan asal.

Nanga ngoka manyawa, fongana, yang nyojaga mia doku, sebab yanga dimono

Kami menjaga hutan dan gunung-gunung, karena kami anggap sebagai orang tua kami.

Renjana Kami

By Yahya M. Ilyas

“Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi kamu tak dapat merencanakan cintamu untuk siapa.” ujar seniman Sujiwo Tejo. Kalimatnya begitu mengilhami perjalanan cinta saya di atas sebuah pertemuan dan perbedaan iman.

Pada februari 2018, saya kembali intens bertemu dengan seorang perempuan yang telah saya kenal sejak berkuliah pada 2013. Tanpa rencana, di pertemuan intens itu saya mulai menemukan ketertarikan. Cinta bersemi di antara kami, bahkan sampai hari ini.

Singkat cerita, hubungan kami berjalan hampir 5 tahun. Kami punya harapan dan misi yang ingin dicapai bersama. Namun semua impian itu terhalang dengan sebuah jurang lebar di hadapan kami. Ya, cinta kami berjalan di atas perbedaan iman.

Jika kembali ke paragraf awal, maka ucapan Sujiwo Tejo benar adanya. Saya, begitu pula dengan pasangan saya, tak pernah merencanakan akan memberikan cinta untuk siapa. Semua berjalan begitu alami.

Perjalanan panjang cinta saya dengan pasangan terpaksa kandas di atas perbedaan. Pelaminan yang kami bayangkan meranggas di hadapan kenyataan regulasi perkawinan di Indonesia yang tak mengizinkan pernikahan beda iman. Tak satu pun dari kami yang mau mengalah dengan iman kami.

Kisah cinta kawan kami pun senada, perbedaan iman selalu berujung perpisahan. Akankah nasib serupa terjadi pada kami?

Dalam sebuah percakapan kami pernah saling berujar, apakah pada akhirnya cinta kami akan berbuah bahagia atau kesedihan. Kami berusaha saling melepas dan membuka diri agar mendapatkan pasangan yang seiman. Namun jalan cinta akhirnya selalu menuntun kami mencari satu sama lain. Kami pernah sampai pada pembicaraan bahwa salah satu dari kami harus meninggalkan kota. Menjauh sehingga tidak bisa saling bertemu. Hingga cinta itu perlahan memudar dan hilang.

“Saya akan lepas kau, kalau kau menemukan pasangan yang seiman”

“kau mau lepas betulan saya? Bisa kita saling lepas?”

Pertanyaan itu tidak terjawab.

Saya lalu mengantarnya pulang, dan dia memelukku erat.

Pembahasan tentang kisah ini selalu menyimpan ruang tersendiri dari masing-masing mereka yang menjalaninya. Dan terlepas dari semua persoalan yang ada, bagi saya, setiap cinta akan menemukan jalannya masing-masing.

Rumah untuk Afgan

By Suratman

Sejak 2000-an, Indonesia diterjang arus pengungsi dari korban perang di negara-negara Timur Tengah. Para pengungsi terpaksa meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri. Mereka berlayar agar terbebas dari suara tembakan dan dentuman bom yang memekik di telinga. Inilah Memori yang terekam dalam ingatan Afgan, pengungsi etnis Hazara yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan.

Meski 10 tahun telah berlalu, namun Afgan tak akan lupa dengan perjuangannya untuk menemukan tempat tinggal. Meski berhasil mendapatkan tempat tinggal, namun hak dasar lainnya seperti, akses pendidikan dan pekerjaan yang layak belum dapat ia peroleh.

Di Indonesia jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tercatat berkisar 13.700 jiwa (Reliefweb.int, 2022), 7.600 di antaranya berasal dari Afghanistan dari etnis minoritas Hazara. Meski Indonesia membuka akses bagi pencari suaka, namun tak ada regulasi yang mengatur jaminan status dan kelayakan hidup. Mereka terjerat di dalam lingkaran setan: kembali ke negara asal (repatriasi) tidak mungkin, mendapatkan pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement) kecil peluangnya, dan bertahan hidup selamanya di Indonesia (reintegration) bukan pilihan yang tepat karena tidak ada payung hukum yang melindungi.

Sampai saat ini perjuangan Afgan bertahan hidup di Makassar didasari harapan untuk mendapat kesempatan pindah ke rumah yang baru. Meski harus menunggu antrean yang sedemikian panjangnya, ia mencoba untuk tetap waras menjalani kehidupan dengan segala belenggu yang ada.

Pilihan satu-satunya bertahan, berkarya, dan tetap terkoneksi dengan orang lain. Afgan yang kini fasih berbahasa indonesia dengan logat Makassar tetap memilih untuk hidup dalam sebuah dinding persegi yang ia sebut rutan (rumah tahanan).

Keluarga Adinda

By Indriani Jesika Tappi

“Keluarga Adinda” karya Indriani Jessica Tappi menceritakan tentang keseharian Poppy (D), Mommy (Adinda), dan dua ekor kucing mereka bernama Golden dan Johnson.

Bagi Adinda dan pasangannya, kucing tak sekadar hewan lucu nan menggemaskan, tapi juga menjadi kawan setia yang menyaksikan perjuangan cinta mereka sebagai pasangan queer. Keduanya memutuskan untuk saling mengasihi sejak 2020. Hidup di tengah masyarakat yang masih diskriminatif, relasi mereka tentu saja tak berjalan mudah.

Alih-alih menunjukan diri sebagai pasangan kekasih, mereka terpaksa melakoni “kucing-kucingan” sebagai kakak adik untuk menghindari represi dari warga sekitar. “Kami memiliki hak berekspresi dan menunjukan perasaan. Aku akan berjuang untuk teman-teman seperti kami agar mendapatkan haknya juga,” ungkap Adinda.

Saat ini Adinda tengah menempuh pendidikan di salah satu Universitas di kota Palu, sedangkan (D) tengah merencanakan untuk melanjutkan studi S3-nya. Dari kisah mereka kita dapat belajar bahwa gender tidak membatasi kita untuk berekspresi dan membahagiakan diri. Jika kita tidak dapat menerima orientasi mereka, setidaknya kita menerima mereka sebagai manusia yang memiliki hak berekspresi dan perasaan. Di sisi lain, gender juga tidak membatasi kita untuk mendapatkan pendidikan. Terus belajar karena hidup tidak pernah berhenti mengajar. Setop diskriminasi, mari saling menghargai.

Mengecap pengalaman pahit sebagai pasangan minoritas, Adinda dan D memutuskan untuk memperjuangkan keragaman gender dan minoritas seksual dalam sebuah organisasi inklusif di kota Palu. Mimpi Adinda dan D begitu sederhana, mereka ingin hidup tenang bersama kucing-kucingnya, tanpa perlu lagi kucing-kucingan dengan warga.

Tiara

By Feronika

“Tiara” adalah kisah seorang transpuan berusia 22 tahun yang tinggal di Desa Dalaka, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dengan identitasnya sebagai transpuan, ia kerap mengalami kekerasan berbasis gender: distigma dan didiskriminasi, pelakunya tak jarang adalah orang terdekat, di sekolah, di lingkup pertemanan bahkan keluarga sendiri.

Tiara menjadi korban kekerasan berbasis gender sejak kecil hingga sekolah menengah atas, ia sering mengalami stigma, diskriminasi, dan kekerasan dari keluarga, lingkungan pertemanan maupun sekolahnya. Menginjak remaja, nasib buruk terus merundungnya. Statusnya sebagai transpuan membuat ia tak mendapatkan ijazah SMA secara legal pada 2019. Karena itu, Tiara harus menutup mimpinya bisa melanjutkan pendidikan tinggi disalah satu kampus terbaik di Kota Palu.

Kisah pilu Tiara perlahan berangsur pulih. Semua berkat kegigihannya sebagai aktivis di Maleo Sulawesi Tengah dan paralegal inklusi di YLBH APIK Sulawesi Tengah. Sejak itu, Tiara berhasil mendapatkan ruang aman, ia mulai nyaman untuk menerima identitasnya (coming in) dan melela (coming out), baik kepada diri sendiri maupun lingkungannya.

Saat ini Tiara percaya diri dan tangguh mengadvokasi hak-hak dasar dalam penuham HAM sebagai warga negara. Dari usaha yang ia lakukan, saat ini ia telah berhasil memiliki dokumen kependudukan seperti KTP, BPJS Kesehatan dan membantu kawan-kawan queer lainnya yang mengalami kesulitan dalam mengakses layanan publik.

Lewat bidikan foto Feronika, kita dapat melihat transformasi Tiara: dari seorang penyintas diskriminasi, ia berubah menjadi aktivis yang teguh mengadvokasi pemenuhan dasar HAM warga negara untuk kawan-kawan queer. Sambil berjuang, Tiara juga bekerja penuh waktu sebagai penata rambut dan kecantikan untuk menopang hidup keluarganya.

Setumpuk Mimpi dari Meja Pinang

By Yokbeth Felle

22 tahun sudah Damaris Yoku berjualan pinang. Peluhnya mampu membuatku bersekolah. Tak hanya itu, ia pun sanggup menjadi nenek sekaligus bapak dan mama bagiku.

Saat senja datang di pukul 17.00 WIB, nenek telah bersiap berjualan pinang di mata Jalan Sosial, Sentani, Jayapura. Pilihan berjualan pinang ditempuhnya karena kakek yang jatuh sakit pada tahun 2000. Sejak itu, peran pencari nafkah diemban nenek, sebenarnya nenek seorang guru. Namun ia memilih berhenti karena mengikuti permintaan kakek untuk menjaga Om dan Mama, namun kini mereka semua telah meninggal, menyisahkan aku dan nenek.

Pinang adalah salah satu komoditi yang paling banyak dijual di Papua. Pinang dijadikan kudapan favorit di piring makan orang Papua. Permintaan pinang yang tinggi membuat banyak pedagang menjual pinang, tak hanya orang Papua, tapi pendatang pun juga menjajakan pinang-pinang segar.

Setumpuk pinang berjumlah 5-10 buah dibanderol Rp 10.000. Banyaknya pinang tergantung dengan sedikit banyaknya jumlah pinang pertumpuk. Pinang sudah dilengkapi pula dengan sirih dan kapur. Setiap rupiah yang diperoleh nenek dari petang hingga tengah malam, dikumpulkannya untuk membiayai uang SPP sekolahku. 15 tahun sudah biaya sekolahku ia lunasi dengan peluhnya. Beruntung, kini aku bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dengan beasiswa. Ongkos dan biaya makan saja yang aku upayakan cukup agar bisa menunjang akomodasiku setiap ke kampus.

Aku tak akan lupa pesan nenek. Bak setumpuk pinang yang disusun nenek, seperti itu pula tumpukan mimpi yang ia susun rapi demiku. “Sa mau ko sekolah baik, pakai pakaian baik, supaya orang bisa lihat ko. Sa tidak papa pakai pakaian lama dan jelek, sa orangtua jadi ko itu yang harus pakai pakaian yang baik.

Sang Pencari Jalan

By Adwit Pramono

Abad ke-16 menjadi cikal bakal penyebaran agama Katolik di tanah Sulawesi. Agama Katolik dibawa oleh para misionaris asal Portugis, sementara di tanah Minahasa, tepatnya di wilayah semenanjung utara Pulau Sulawesi, agama Kristen Protestan disebarkan para misionaris Belanda seabad kemudian.

Meski mayoritas dihuni oleh umat kristiani, namun berdasarkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Kementerian Agama pada 2021 dan Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute pada 2021, Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan capaian toleransi dan kerukunan beragama tertinggi di Indonesia.

Di tengah kabar baik itu, bumi nyiur melambai ini harus menghadapi pula kenyataan buruk. Toleransi antara 6 agama resmi memang harmonis, namun tak demikian dengan kepercayaan lokal warga setempat. Mereka yang masih meyakini ajaran leluhur distigma dan dipersekusi. Inilah realita pahit yang dihadapi oleh para penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (KT2YME) Lalang Rondor Malesung (Jalan Lurus Malesung).

Falsafah “Sitou Timou Tumou Tou” yang bermakna manusia hidup untuk memanusiakan manusia, menjadi landasan sosial masyarakat Minahasa dipegang teguh oleh mereka yang masih meyakininya.

Masyarakat Minahasa sejak awal perkembangan peradaban, memiliki sistem kepercayaan hidup yang disebut Malesung. Ajaran leluhur yang meyakini kekuatan besar yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta, falsafah hidup, serta ruh para leluhur yang menjadi perantaranya dengan manusia.

Kebiasaan hidup, adat, dan tradisi warga Minahasa yang berlangsung turun temurun secara organik tentu tak dapat dihilangkan begitu saja, meski nilai-nilai agama yang kini dianut mungkin tak selalu selaras. Agama dan tradisi di Minahasa tengah bertransformasi dan beradaptasi dengan kepercayaan mayoritas.

Hidup dari Sagu

By Ricky Pangkatana

Sagu menjadi panganan utama masyarakat Kampung Yoboy, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Hutan sagu terhampar luas di belakang rumah-rumah warga. Pada tepian Danau Seta yang memanjang, hamparan sagu ini disebut dusun sagu. Bapak Jems Richard Wally dan Mama Novita Sokoy, pasutri asal Kampung Yoboy mengajak kita menyusuri makna sagu bagi warga setempat.

Untuk menuju ke sini, kita bisa menempuh dengan kapal cepat (speedboat) sekira 7 menit dari Dermga Yahim Sentani. Perjalanan itu merogoh ongkos Rp 10.000 per orang. Dusun Sagu ini milik masyarakat Yoboi sesuai Mata Rumah (marga) yang dijaga secara bersama-sama. Tak hanya menjadi kudapan utama di piring makan, sejak lama, sagu juga menjadi sumber penghasilan masyarakat Yoboy.

Mama Novita dan Bapak Jems dianugerahi enam orang anak, anak pertama duduk di bangku SMA, anak kedua bersekolah di tingkat SMP, dan anak yang ketiga masih belajar di SD. Sementara 3 anak lainnya belum bersekolah. Untuk membayar biaya sekolah, mama Novita menjual sagu. Sagu dijual dalam bentuk tepung basah, kemudian ditaruh dalam wadah karung. Per 15 kg dihargai Rp 250.000. Menurut mama Novita, satu batang sagu bisa menghasilkan 10-15 karung tergantung karung dan kualitas sagu yang dihasilkan. Proses produksi memakan waktu 1-3 hari, tergantung tenaga kerja.

Untuk mendapatkan penghasilan lebih, James dan Novita mencari ikan di danau untuk dijual dan dikonsumsi. Menurut Jems, sepiring sagu yang dimasak menjadi papeda sangat nikmat jika ditemani dengan ikan segar. Mereka sekeluarga sangat senang memakannya.

Manfaat sagu tak berhenti sampai di sana, batang sagu ternyata juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku dinding, lantai rumah, dan kayu bakar. Sedangkan daun sagu bisa dianyam menjadi atap, dinding, dan wadah penyimpan barang. Sagu adalah kehidupan yang menghidupi masyarakat Kampung Yoboy.

Mengenyam Harapan

By Nurdana Rizki Pratiwi

Aylo lima neng, Walut luma mam, Lain sarabit lima nukwe (Hutan adalan Mama, laut adalah bapak dan pantai adalah anak) -Filosofi Masyarakat adat Raja Ampat

Seluruh Masyarakat Adat di seluruh dunia mengalami satu ancaman yang sama: hilangnya identitas di tanah sendiri. Hal ini yang dialami pula oleh Masyarakat Adat di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Wilayah yang dijuluki Sepenggal Surga ini begitu lekat dengan hutan, laut, dan hamparan pesisir yang elok. Filosofi yang dipegang masyarakat setempat adalah penerapan konsep konservasi dengan perspektif kearifan lokal.

Salah satu cara menjaga tradisi dan identitas Masyarakat Adat adalah lewat kerajinan lokal. Menghidupkan kerajinan lokal berarti pula menjaga hutan, laut, dan pesisir, karena semua bahan baku yang ramah lingkungan diambil secara arif dari alam. Masyarakat Adat memiliki pengetahuan dan bakat tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pengetahuan ini terus terjaga agar identitas tak hilang.

Namun warisan pengetahuan ini perlahan meranggas seiring dengan kebijakan pemerintah yang menjadikan Raja Ampat sebagai satu destinasi wisata prioritas. Wisata digarap, Masyarakat Adat tak mendapat perhatian.

Wisata alam Raja Ampat yang indah kontras dengan realitas Masyarakat Adat yang hidup di tengah akses pendidikan, transportasi, dan logistik pangan lokal yang terbatas. Alhasil, mereka hanya memproduksi untuk menyambut acara seremonial pesanan: menyambut tamu, pameran, dan tampil untuk menghibur wisatawan. Semua itu semata hiburan, tak pernah dirawat secara berkelanjutan.

Masyarakat Adat khawatir, di masa mendatang, tanah kelahirannya hanya akan dikenal sebagai tempat wisata, bukan kampung halaman dari masyarakat yang hidup selaras dengan alam.

Jangan Potong Sa Pu Rambut

By Antonius Ibra

Sejak Bob Marley beken di skena musik Reggae, dreadlocks atau rambut gimbal miliknya sering dilekatkan sebagai ikon musik asal Jamaika itu. Orang-orang menyangka, musik reggae melalui Bob Marley-lah yang melahirkan gaya rambut bersilang belit (locks) ini.

Jauh sebelum tereduksi sebagai fesyen dan musik, rambut gimbal melintasi sejarah panjang. Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak 2500 SM di negara-negara Asia, Afrika, dan Australia. Rambut unik ini direpresentasikan oleh Tutankhamen, sosok Fir’aun (Raja Agung) asal Mesir Kuno, Kaum Nazarit di Barat, serta penganut Yogi, Gyani, dan Tapasvi. Mereka menjadikan rambut gimbal sebagai pengingkaran atas fisik yang fana dan sebagai satu jalan spiritual yang mereka tempuh.

Beralih ke tahun 1914, Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam melalui UNIA. Ia membentuk Dread atau satu kaum yang mengamini aspek spiritualitas rambut gimbal dalam Agama Hindu dan kaum Tribal Afrika. Dread bermakna keberanian dan rasa hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal pengikut Dread inilah yang kemudian memunculkan istilah dreadlocks atau tatanan rambut para Dread.

Perjalanan Dreadlocks melaju ke era 1930-an, saat Rastafarianisme menjadi agama sekaligus gerakan sosial yang berkembang di Jamaika, rambut gimbal ini menjelma sebagai symbol sosial Rasta (pengikut Rastafarianisme). Di ruang dan waktu yang sama, Jamaika sebagai negara mengalami gejolak sosial dan politik, kelompok Rasta merasa tak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah. Mereka lantas membentuk pemukiman di tenda-tenda, di antara rerimbunan semak belukar.

Barulah pada 1970-an, rambut gimbal beralih rupa dari simbol agama dan gerakan sosial, menjadi fesyen yang populer. Pesona Bob Marley dengan musik reggae dan rambut gimbalnya, tak pelak menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Lain di Afrika dan Australia, lain pula di Papua. Rambut gimbal tak dimaknai sebagai bagian dari ritus spiritual tertentu, melainkan semata ciri fisik yang identik dengan masyarakat setempat. Rambut masyarakat Papua umumnya terurai ikal, keriting, menggumpal, dan bergulung-gulung.

Meski berbeda dari segi pemaknaan rambut gimbal secara spiritual, namun latar historis sosial dan politik di Papua memiliki kesamaan dengan pergerakan sosial di Afrika. Pada 1961, warga Papua mengalami represi dari Penjajahan Belanda dan integrasi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan ciri fisik dan pengalaman hidup dalam penindasan yang serupa dengan orang-orang Afrika (negroid) kemudian melahirkan kedekatan emosional orang Papua dengan musik reggae dan juga mengadopsi berbagai bentuk perjuangan untuk terbebas dari penindasan.

Dari waktu ke waktu, bentuk perlawan orang Papua semakin meluas dan melahirkan berbagai organisasi baik di Papua maupun di luar negeri untuk terbebas dari penindasan. Bentuk perlawannan ini mendapat respons yang represif dari NKRI terhadap orang Papua sehingga melahirkan stigma-stigma di berbagai lapisan pemerintahan, TNI/Polri dan juga masyarakat, secara umum berpendapat bahwa gimbal adalah sebuah gerakan melawan NKRI.

Stigma itu terus langgeng di tengah masyarakat. Memori warga Papua tak akan lupa dengan peristiwa Abepura Berdarah, pada 7 Desember 2000. Kala itu, demonstrasi yang terjadi atas isu penindasan dan pelanggaran HAM menelan korban jiwa, dari kalangan aparat maupun para demonstran. Aparat yang bersifat anarkistis meringkus semua orang Papua yang berambut gimbal. Mereka diangkut paksa ke markas Polisi dan mahkota mereka habis digunduli.

Terhadap aksi Razia ini, Sebagian Mahasiswa yang terkena Razia melakukan kampanye “Jangan Bunuh Sa pu Rambut” sebagai bentuk protes atas tindakan yang dilakukan aparat keamanan.

Memori kelam atas stigma rambut gimbal masih dapat saya rasakan saat melakukan wawancara dengan beberapa petinggi keamanan. Dari pengalaman inilah, saya mencoba menyampaikannya lewat foto bercerita ini dan sebagai bagian akhir dari foto bercerita ini, saya mengutip satu kalimat dari Bob Marley sebelum meninggal, “Kalian tahu, aku tak benar-benar punya ambisi. Yang benar-benar ingin kulihat hanya satu, aku ingin melihat seluruh umat manusia hidup bersama, kulit hitam, putih, tionghoa, semua orang. Itu saja”.

Merumahkan Penghuni Rimba

By Adlun Fiqri Pramadhani

Tuna budaya, istilah yang disematkan pemerintah pada mereka. Anggapan bahwa kehidupan yang dijalani itu primitif dan terbelakang, mendorong Departemen Sosial merancang program pemukiman kembali (resettlement) dengan menyediakan rumah berdinding dan beratap seng untuk mereka.

“Ngohi O’hongana Manyawa, orang yang hidup di hutan” ujar Bodik (80) mengaskan identitas mereka.

Kelompok O’hongana Manyawa adalah satu dari sekian suku bangsa di Halmahera. Orang luar juga kerap menyebut mereka orang Togutil dan orang Tobelo Dalam. Mereka hidup di wilayah-wilayah hutan Halmahera yang kaya pangan seperti sagu dan hewan buruan. Biasanya hidup berpindah-pindah, meramu, berburu, membangun rumah sederhana beratap rumbia tanpa dinding, yang tak jauh dari aliran sungai. Lembah Subaim di Halmahera Timur merupakan salah satu wilayah yang dahulu dihuni O’hongana Manyawa.

Dekade 1980an program resettlement mulai dijalankan, bersamaan dengan program transmigrasi oleh pemerintah pusat. Lembah Subaim yang dahulunya menjadi dusun sagu bagi O’hongana Manyawa, drastis berubah menjadi pemukiman dan lahan pertanian sawah bagi warga transmigrasi. Mulanya ada resistensi, tapi perlahan mereka kalah dan tersingkir.

Kini, sebagian besar terpaksa tinggal di rumah-rumah buatan pemerintah di pinggiran kawasan transmigrasi. Mereka mulai hidup “modern” sebagaimana keinginan pemerintah, sisanya mencoba bertahan dengan kebudayaan asal.

“Nanga ngoka manyawa, fongana, yang nyojaga mia doku, sebab yanga dimono”

Kami menjaga hutan dan gunung-gunung, karena kami anggap sebagai orang tua kami.

NO STORY TOO SMALL