“Assalamualaikuum Yakoop,” suara burung kakatua yang parau terdengar dari rumah-rumah para pencinta burung.

Kemampuan burung kakatua yang dapat menirukan suara bahkan kata dan kalimat manusia, membuat sebagian orang beranggapan bahwa kakatua adalah burung yang sangat pintar. Lantaran kepintarannya itulah, burung pemakan biji dan nektar bunga ini menjadi incaran para penggemar burung. Mereka dipelihara, dimasukkan di dalam kandang—dengan alih-alih cinta—tak jarang mereka  ditangkap dan dijual.

Mencintai mereka dalam sangkar tentu tidak dibenarkan. Sama halnya seperti manusia, hewan pun memiliki apa yang dinamakan “Prinsip Kebebasan” dalam kesejahteraan hewan. Yaitu, bebas dari rasa lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari rasa takut atau stress, dan bebas berekspresi secara alamiah seperti kebiasaan mereka di habitatnya.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang beragam baik flora dan fauna, serta menjadi surga bagi satwa-satwa endemik. Salah satunya, burung kakatua. Indonesia memiliki empat jenis burung kakatua endemik, satu di antaranya adalah kakatua putih Cacatua alba yang asli dari Maluku Utara. Saat ini, kakatua putih beserta seluruh anggota burung paruh bengkok telah dilindungi oleh undang-undang melalui Permen LHK Nomor P.106.

Meski telah dilindungi dengan payung hukum yang jelas, tetapi nyatanya kegiatan perburuan, penangkapan, dan perdagangan burung paruh bengkok di Maluku Utara masih marak. Pada 2018, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku telah melakukan penyelamatan burung paruh bengkok sebanyak 1,135 ekor, termasuk kakatua putih dan kasturi ternate Lorius garrulus yang merupakan burung endemik Maluku Utara (Setiyani & Ahmadi, 2020). Lima tahun sebelumnya, dijumpai sebanyak 13,6% rumah tangga di dua kota di Maluku Utara memelihara burung-burung paruh bengkok di rumahnya (Rosyadi, et al., 2015).

Saat ini, populasi kakatua putih di habitatnya berkurang sehingga satwa ini masuk dalam daftar merah badan konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status “terancam” atau EN-Endangered.

Photo story ini mengangkat kisah Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera, Maluku Utara yang mendirikan Suaka Paruh Bengkok bersama para pihak melakukan upaya penyelamatan kakatua putih dan burung paruh bengkok lainnya. Suaka ini memiliki staf dan sosok-sosok yang bekerja siang-malam guna merawat kakatua putih dan kerabatnya sampai bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Burung-burung paruh bengkok tersebut didapat dari kegiatan pengamanan Polisi Kehutanan maupun penyerahan sukarela oleh masyarakat yang telah sadar bahwa burung bukan untuk dipelihara. Kegiatan utama yang dilakukan oleh Suaka Paruh Bengkok adalah konservasi, edukasi, dan rekreasi. Tujuan mereka hanya satu, menjaga dan merawat satwa endemik ini agar tidak diburu dan dapat kembali terbang bebas ke habitatnya.

Akhmad David Kurnia Putra atau akrab dipanggil David, lahir di Tuban, Jawa Timur. Saat ini, David bertugas sebagai Polisi Kehutanan (Polhut) di Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera, Maluku Utara. David menjadi salah satu pendiri Halmahera Wildlife Photography, komunitas fotografi satwa liar di Maluku Utara.

Sejak 2010, ayah dua orang anak ini tertarik menjadi pengamat burung di Maluku Utara. Selain menggeluti fotografi satwa liar, khususnya burung, David juga gemar menulis buku tentang avifauna di dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata maupun di Maluku Utara secara keseluruhan. Ia juga kerap diundang untuk berbagi cerita tentang avifauna yang ada di Maluku Utara.