Sejak 2000-an, Indonesia diterjang arus pengungsi dari korban perang di negara-negara Timur Tengah. Para pengungsi terpaksa meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri. Mereka berlayar agar terbebas dari suara tembakan dan dentuman bom yang memekik di telinga. Inilah memori yang terekam dalam ingatan Afgan, pengungsi etnis Hazara yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan.

Meski 10 tahun telah berlalu, tetapi Afgan tak akan lupa dengan perjuangannya untuk menemukan tempat tinggal. Meski berhasil mendapatkan tempat tinggal, tetapi hak dasar lainnya seperti akses pendidikan dan pekerjaan yang layak belum dapat ia peroleh. 

Di Indonesia, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tercatat berkisar 13.700 jiwa (Reliefweb.int, 2022), 7.600 di antaranya berasal dari Afghanistan dari etnis minoritas Hazara. Meski Indonesia membuka akses bagi pencari suaka, tetapi tak ada regulasi yang mengatur jaminan status dan kelayakan hidup. Mereka terjerat di dalam lingkaran setan: kembali ke negara asal (repatriasi) tidak mungkin, mendapatkan pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement) kecil peluangnya, dan bertahan hidup selamanya di Indonesia (reintegration) bukan pilihan yang tepat karena tidak ada payung hukum yang melindungi. 

Sampai saat ini, perjuangan Afgan bertahan hidup di Makassar didasari harapan untuk mendapat kesempatan pindah ke rumah yang baru. Meski harus menunggu antrean yang sedemikian panjangnya, ia mencoba untuk tetap waras menjalani kehidupan dengan segala belenggu yang ada.

Pilihan satu-satunya bertahan, berkarya, dan tetap terkoneksi dengan orang lain. Afgan yang kini fasih berbahasa indonesia dengan logat Makassar tetap memilih untuk hidup dalam sebuah dinding persegi yang ia sebut rutan (rumah tahanan).

Suratman A. Larakuti adalah fotografer profesional asal Makassar, Sulawesi Selatan. Dengan latar belakang sarjana Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin menjadikannya lebih peka terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Karya-karya fotografinya tidak terlepas dari cerita tentang perjalanan, isu sosial, hingga kemanusiaan. Salah satu karya foto cerita yang membuatnya bisa terpilih mengikuti workshop fotografi “Cerita dari Timur” adalah “Distopia”. Distopia merupakan karya foto yang lahir dari beragam kolaborasi lintas kultur yang bercerita tentang keresahan. Kolaborasi lah yang membuatnya bisa tetap hidup sebagai fotografer.