Pameran Daring

Two Folded Stories

By Adrian Mulya

20/70

Dalam lipatan lusuh sejarah republik ini, ada sejumlah kisah yang hingga kini masih menyisakan luka. Para penyintas 65 sebagian besar telah menua, kesepian, tak jarang sakit-sakitan. Bertemu dan bersendau-gurau dengan para kolega merupakan asupan energi dan kebahagiaan tersendiri. Sayang, kondisi fisik dan rentang jarak membuat banyak dari mereka tak bisa lagi aktif hadir dalam pertemuan.

Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham) menggagas sebuah program kunjungan relawan mahasiswa kepada para penyintas. Diberi nama One Week One Mother. Dalam sehari, mereka menemani kegiatan mbah-mbah, mendengarkan mereka bercerita atau mengantar belanja. Diselenggarakan sejak 2014, hingga kini telah sampai pada angkatan ke-6.

Pertama kali bertemu dengan Mbah Sarjilah, Hendrik merasa gamang. Kisah yang kerap ia saksikan dari film dan ia baca dari buku-buku sungguh berbeda dengan kesan ketika berhadapan langsung dengan para penyintas. Demikian juga yang dirasakan oleh Siti, Munti, Dyah dan Sapar.

Mbah Sutilah gembira ketika dikunjungi oleh para relawan mahasiswa. Ia merasa diterima, diuwongke (dimanusiakan), dan bisa bercerita tentang masa muda mereka – sesuatu yang tak bisa dikisahkan kepada orang lain. Perasaan serupa juga bersemayam di relung hati Mbah Kemirah, Mbah Sarjiyah, Mbah Surati dan Mbah Sujilah.

Ini adalah perjumpaan dua generasi yang terpaut umur lebih dari 50 tahun. Terpisahkan oleh tembok tebal narasi sejarah Orde Baru. Kini ruang- ruang perjumpaan telah melekatkan hati keduanya. Para orangtua, yang telah tersingkir dari masyarakat dan – tak jarang — dari keluarganya sendiri, seperti menemukan cucu baru yang memberi sebongkah cinta dan rasa percaya. Anak-anak muda, yang selama ini dipaksa menelan narasi sejarah tunggal versi Orde Baru, lantas menemukan ruang untuk belajar tentang sejarah bangsa, tentang dignity dan keberdayaan, langsung dari tuturan para penyintas.

#ReformasiDikorupsi

By Pameran Kolektif

Pada September 2019, ribuan mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil turun ke jalan guna menyuarakan protes mereka atas pengesahan revisi UU KPK dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, yang dianggap menghambat pemberantasan korupsi dan bertentangan dengan penegakan demokrasi.

Mahasiswa kembali menjadi motor aksi massa terbesar dua puluh satu tahun setelah Reformasi 98. Bermula dari aksi bertagar Gejayan Memanggil di Yogyakarta, yang diikuti oleh demonstrasi di berbagai kota di Indonesia, antara lain Medan, Bandung, dan Makassar. Puncaknya, rombongan mahasiswa dengan jaket almamater berbagai universitas berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.

Tak ketinggalan, mahasiswa yang mempunyai kemampuan fotografi pun ikut turun ke jalan. Mereka merekam momen-momen aksi massa dimana mereka menjadi pelaku aksi bersama teman-teman kuliah mereka. Sebutlah Muhammad Alzaki Tristi, yang saat itu masih menyelesaikan studi S1 di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Walaupun Zaki sempat ragu ketika mendengar rencana aksi mahasiswa, pada akhirnya ia merekam momen-momen yang menunjukkan kepedulian kaum muda pada kondisi politik di negara kita. Demikian pula foto-foto Bima Gunawan, mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang sedang magang di KOMPAS tahun lalu. Slogan-slogan yang tertulis pada baner-baner yang dibawa pendemo atau dinding-dinding di sekitar lokasi demonstrasi tertangkap dalam bidikan para fotografer muda. Kalimat serius, becanda, konyol yang khas anak muda dan dekat dengan keseharian mereka.

Mahasiswa -yang sempat dijuluki generasi nunduk (mengutip istilah Malcheni Sangrawati) karena dianggap terlalu asik dengan gawai- telah membuktikan bahwa mereka tidak diam. Gerakan #ReformasiDikorupsi menunjukkan bahwa mereka ada; bersuara lantang pada saat orasi di bawah terik matahari di jalanan, serta berisik, berkicau, bercecuit di berbagai kanal jejaring sosial dalam gawai-gawai mereka.

Sementara para pewarta foto melaksanakan tugas peliputan melalui hari yang panjang; dari suasana demonstrasi masih santai, bentrok antara pendemo dengan aparat, hingga suasana jalanan yang berantakan. Mereka merekam aksi massa dari berbagai perspektif untuk melaporkan peristiwa ke publik melalui kantor berita atau media tempat mereka bekerja.

Mari kita simak kepingan visual yang dihasilkan para fotografer ini, menyimak opini visual mereka tentang pergerakan mahasiswa dan masyarakat sipil di suatu masa.

Kesadaran Jalanan

By Erik Prasetya

Semenjak demo mahasiswa 1978 yang saya ikuti dibuat porak poranda oleh militer, hal besar yang ingin saya lihat adalah tumbangnya rezim Soeharto. Persis dua puluh tahun kemudian, 1998, hal itu terjadi. Tapi, tanda-tanda menuju ke sana telah tampak beberapa tahun sebelumnya. Saya mencatat empat tanda.

Tanda pertama, meninggalnya Bu Tien, Ibu Negara dan sosok yang dianggap sebagai kekuatan batin suaminya. Tanda kedua, terjadinya peristiwa “Kudatuli”—akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pemerintah menangkapi anak-anak muda aktivis sebuah partai yang sangat kecil, PRD. Bagi saya itu menunjukkan rezim telah lemah. Kedua peristiwa itu terjadi tahun 1996. Tanda ketiga: krisis moneter. Tanda keempat: kelas menengah yang biasanya apatis dan apolitis mulai bergerak dan mendukung demonstrasi mahasiswa.

Tanda-tanda itu saya catat dalam perjalanan waktu, dalam bentuk fotografi. Barangkali obsesi saya untuk melihat rezim militer tumbang. Tapi, pada saat yang sama, di dekade 1990-an, saya memfokuskan diri memotret kelas menengah di Jakarta, kelas yang saya merupakan bagiannya. Fokus ini saya pilih karena fotografi profesional yang saya geluti di Indonesia sebelumnya didominasi pendekatan jurnalisme dan dokumenter, yang berjarak dari subyek foto, bahkan melihat subyek foto sebagai obyek. Saya ingin memotret kelompok masyarakat di mana saya adalah bagiannya. Saya ingin foto saya personal, subyektif, dan membuka ruang hubungan antar persona—termasuk antara fotografer dan orang-orang sekitarnya. Ternyata, pada dekade itu, kelas menengah juga menjadi ujung tombak perubahan politik.





NO STORY TOO SMALL