Sagu menjadi panganan utama masyarakat Kampung Yoboy, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Hutan sagu terhampar luas di belakang rumah-rumah warga. Pada tepian Danau Seta yang memanjang, hamparan sagu ini disebut dusun sagu. Bapak Jems Richard Wally dan Mama Novita Sokoy, pasutri asal Kampung Yoboy mengajak kita menyusuri makna sagu bagi warga setempat.
Untuk menuju ke sini, kita bisa menempuh dengan kapal cepat (speedboat) sekira 7 menit dari Dermga Yahim Sentani. Perjalanan itu merogoh ongkos Rp10.000 per orang. Dusun Sagu ini milik masyarakat Yoboi sesuai Mata Rumah (marga) yang dijaga secara bersama-sama. Tak hanya menjadi kudapan utama di piring makan, sejak lama, sagu juga menjadi sumber penghasilan masyarakat Yoboy.
Mama Novita dan Bapak Jems dianugerahi enam orang anak. Anak pertama duduk di bangku SMA, anak kedua bersekolah di tingkat SMP, anak ketiga masih belajar di SD, sementara tiga anak lainnya belum bersekolah. Untuk membayar biaya sekolah, mama Novita menjual sagu. Sagu dijual dalam bentuk tepung basah, kemudian ditaruh dalam wadah karung. Per 15 kg dihargai Rp250.000. Menurut mama Novita, satu batang sagu bisa menghasilkan 10—15 karung tergantung karung dan kualitas sagu yang dihasilkan. Proses produksi memakan waktu satu hingga tiga hari, tergantung tenaga kerja.
Untuk mendapatkan penghasilan lebih, James dan Novita mencari ikan di danau untuk dijual dan dikonsumsi. Menurut Jems, sepiring sagu yang dimasak menjadi papeda sangat nikmat jika ditemani dengan ikan segar. Mereka sekeluarga sangat senang memakannya.
Manfaat sagu tak berhenti sampai di sana, batang sagu ternyata juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku dinding, lantai rumah, dan kayu bakar. Sedangkan daun sagu bisa dianyam menjadi atap, dinding, dan wadah penyimpan barang. Sagu adalah kehidupan yang menghidupi masyarakat Kampung Yoboy.