Sejak Bob Marley beken di skena musik Reggae, dreadlocks atau rambut gimbal miliknya sering dilekatkan sebagai ikon musik asal Jamaika itu. Orang-orang menyangka, musik reggae melalui Bob Marley-lah yang melahirkan gaya rambut bersilang belit (locks) ini.
Jauh sebelum tereduksi sebagai fesyen dan musik, rambut gimbal melintasi sejarah panjang. Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak 2500 SM di negara-negara Asia, Afrika, dan Australia. Rambut unik ini direpresentasikan oleh Tutankhamen, sosok Fir’aun (Raja Agung) asal Mesir Kuno, Kaum Nazarit di Barat, serta penganut Yogi, Gyani, dan Tapasvi. Mereka menjadikan rambut gimbal sebagai pengingkaran atas fisik yang fana dan sebagai satu jalan spiritual yang mereka tempuh.
Beralih ke tahun 1914, Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam melalui UNIA. Ia membentuk Dread atau satu kaum yang mengamini aspek spiritualitas rambut gimbal dalam Agama Hindu dan kaum Tribal Afrika. Dread bermakna keberanian dan rasa hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal pengikut Dread inilah yang kemudian memunculkan istilah dreadlocks atau tatanan rambut para Dread.
Perjalanan dreadlocks melaju ke era 1930-an, saat Rastafarianisme menjadi agama sekaligus gerakan sosial yang berkembang di Jamaika, rambut gimbal ini menjelma sebagai symbol sosial Rasta (pengikut Rastafarianisme). Di ruang dan waktu yang sama, Jamaika sebagai negara mengalami gejolak sosial dan politik, kelompok Rasta merasa tak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah. Mereka lantas membentuk pemukiman di tenda-tenda, di antara rerimbunan semak belukar.
Barulah pada 1970-an, rambut gimbal beralih rupa dari simbol agama dan gerakan sosial, menjadi fesyen yang populer. Pesona Bob Marley dengan musik reggae dan rambut gimbalnya, tak pelak menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Lain di Afrika dan Australia, lain pula di Papua. Rambut gimbal tak dimaknai sebagai bagian dari ritus spiritual tertentu, melainkan semata ciri fisik yang identik dengan masyarakat setempat. Rambut masyarakat Papua umumnya terurai ikal, keriting, menggumpal, dan bergulung-gulung.
Meski berbeda dari segi pemaknaan rambut gimbal secara spiritual, namun latar historis sosial dan politik di Papua memiliki kesamaan dengan pergerakan sosial di Afrika. Pada 1961, warga Papua mengalami represi dari Penjajahan Belanda dan integrasi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan ciri fisik dan pengalaman hidup dalam penindasan yang serupa dengan orang-orang Afrika (negroid) kemudian melahirkan kedekatan emosional orang Papua dengan musik reggae dan juga mengadopsi berbagai bentuk perjuangan untuk terbebas dari penindasan.
Dari waktu ke waktu, bentuk perlawan orang Papua semakin meluas dan melahirkan berbagai organisasi baik di Papua maupun di luar negeri untuk terbebas dari penindasan. Bentuk perlawannan ini mendapat respons yang represif dari NKRI terhadap orang Papua sehingga melahirkan stigma-stigma di berbagai lapisan pemerintahan, TNI/Polri dan juga masyarakat, secara umum berpendapat bahwa gimbal adalah sebuah gerakan melawan NKRI.
Stigma itu terus langgeng di tengah masyarakat. Memori warga Papua tak akan lupa dengan peristiwa Abepura Berdarah, pada 7 Desember 2000. Kala itu, demonstrasi yang terjadi atas isu penindasan dan pelanggaran HAM menelan korban jiwa, dari kalangan aparat maupun para demonstran. Aparat yang bersifat anarkistis meringkus semua orang Papua yang berambut gimbal. Mereka diangkut paksa ke markas Polisi dan mahkota mereka habis digunduli.
Terhadap aksi razia ini, sebagian mahasiswa yang terkena razia melakukan kampanye “Jangan Potong Sa pu Rambut” sebagai bentuk protes atas tindakan yang dilakukan aparat keamanan.
Memori kelam atas stigma rambut gimbal masih dapat saya rasakan saat melakukan wawancara dengan beberapa petinggi keamanan. Dari pengalaman inilah, saya mencoba menyampaikannya lewat foto bercerita ini dan sebagai bagian akhir dari foto bercerita ini, saya mengutip satu kalimat dari Bob Marley sebelum meninggal, “Kalian tahu, aku tak benar-benar punya ambisi. Yang benar-benar ingin kulihat hanya satu, aku ingin melihat seluruh umat manusia hidup bersama, kulit hitam, putih, tionghoa, semua orang. Itu saja.”