Abad ke-16 menjadi cikal bakal penyebaran agama Katolik di tanah Sulawesi. Agama Katolik dibawa oleh para misionaris asal Portugis, sementara di tanah Minahasa, tepatnya di wilayah semenanjung utara Pulau Sulawesi, agama Kristen Protestan disebarkan para misionaris Belanda seabad kemudian.
Meski mayoritas dihuni oleh umat kristiani, tetapi berdasarkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Kementerian Agama pada 2021 dan Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute pada 2021, Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan capaian toleransi dan kerukunan beragama tertinggi di Indonesia.
Di tengah kabar baik itu, bumi nyiur melambai ini harus menghadapi pula kenyataan buruk. Toleransi antara 6 agama resmi memang harmonis, tetapi tak demikian dengan kepercayaan lokal warga setempat. Mereka yang masih meyakini ajaran leluhur distigma dan dipersekusi. Inilah realita pahit yang dihadapi oleh para penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (KT2YME) Lalang Rondor Malesung (Jalan Lurus Malesung).
Falsafah “Sitou Timou Tumou Tou” yang bermakna manusia hidup untuk memanusiakan manusia, menjadi landasan sosial masyarakat Minahasa dipegang teguh oleh mereka yang masih meyakininya.
Masyarakat Minahasa sejak awal perkembangan peradaban, memiliki sistem kepercayaan hidup yang disebut Malesung. Ajaran leluhur yang meyakini kekuatan besar yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta, falsafah hidup, serta ruh para leluhur yang menjadi perantaranya dengan manusia.
Kebiasaan hidup, adat, dan tradisi warga Minahasa yang berlangsung turun temurun secara organik tentu tak dapat dihilangkan begitu saja, meski nilai-nilai agama yang kini dianut mungkin tak selalu selaras. Agama dan tradisi di Minahasa tengah bertransformasi dan beradaptasi dengan kepercayaan mayoritas.
Adwit Pramono adalah fotografer dokumenter dan jurnalistik kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan. Meski bergelar sarjana arsitektur, namun ia secara otodidak belajar di UKM Fotografi Universitas Hasanuddin.
Mengawali karir sebagai fotografer pada 2009 di studio foto “Lacasino”, kontributor lepas di Majalah Properti dan arsitektur “Propertita”, dan majalah gaya hidup “Saya”. Pada 2013, bersama beberapa anggota PFI Makassar memprakarsai terbentuknya Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Makassar, sebagai ruang diskusi dan belajar untuk pengembangan fotografi, khususnya fotojurnalistik di Indonesia Timur.
Sejak 2015 menjadi pewarta foto untuk Kantor Berita ANTARA di Sulawesi Utara, dan membagi waktu dan aktifitasnya di Manado-Makassar hingga sekarang.