Isi pikiranku terus berputar. Di usiaku yang baru 17 tahun, bukan tanpa alasan, pemikiran-pemikiranku selalu tertumbuk pada peristiwa tahun ’65. Saat SMA, aku pasti akan bertanya tentang sejarah pada guruku meski terkadang merasa tidak puas akan jawaban yang diberikan. Sampai aku dipertemukan dengan Dialita di suatu acara, yang lantas mengubah sudut pandangku. Kutemukan kisah lain yang tak ada di buku sejarah dan tak diajarkan di sekolah.
Barulah aku tahu bahwa Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun) adalah kelompok paduan suara yang beranggotakan para perempuan penyintas Tragedi ‘65-’66 yang dituduh sebagai komunis. Mereka ditangkap secara paksa tanpa pernah diadili. Dari latar belakang yang berbeda-beda, Dialita terus menyuarakan haknya sebagai korban dan membagi kisah lewat lagu-lagu yang sebagian mereka tulis selama menjadi tahanan politik. Pikiranku kembali bertanya, “Mengapa para penyintas Tragedi ‘65 tidak pernah dibahas dalam buku sejarah sekolah?”
Pertemuan di satu acara itu pula yang menjembatani perjumpaanku dengan Heri Siswanti (59) atau Bu Hersis, generasi kedua paduan suara Dialita. Ayahnya sudah ditangkap sejak ia lahir. Bu Hersis tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah, bahkan mengalami stigma sosial sejak dia remaja hingga dewasa. Hal ini pula yang membatasi Bu Hersis dalam menjalin hubungan sosial. “Saya juga pengen kayak yang lain, tapi mereka melihat saya anak siapa, bukan karena sayanya,” lanjutnya. Kini, Bu Hersis menjalani kesehariannya sambil memikul beban: menjadi ibu rumah tangga, berkerja, berkarya, sambil terus menyuarakan haknya sebagai penyintas Tragedi ‘65 lewat lantunan lagu-lagu bersama Dialita.
Raphael Hayden Tanesia menyukai film sedari kecil. Rasa suka yang meluap-luap itu ia salurkan dengan bertanya “Bagaimana mereka membuat alur cerita dan film yang bagus?”. Dari sana, ia mulai mempelajari fotografi, videografi, editing, dan semua hal yang berhubungan dengan penceritaan.